Aktualisasi
Perjuangan Pesantren sebagai Benteng Nasionalisme
dan Penopang Persatuan
Pesantren dan Indonesia adalah
satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai fenomena sejarah. Pesantren adalah
model pendidikan agama asli hasil akulturasi nlai-nilai budaya bangsa Indonesia
dan Islam yang sangat mejunjung tinggi sikap nasionalisme kebangsaan. Kekhasan
metode, asas, dan prinsip pendidikan pesantren Indonesia telah terbangun secara
sistematis sejak zaman kolonial Belanda setelah era dakwah Islam periode awal
oleh kalangan pedagang maupun pendatang Timur Tengah, Persia, India dan
Gujarat. Peran pesantren bagi bangsa Indonesia telah terefleksikan dalam
perjuangan bangsa mulai dari era perjuangan perebutan kemerdekaan, mempertahankan
kemerdekaan, dan era pemerintahan berdaulat penuh. Sebagai benteng
nasionalisme, pesantren hadir dan memberikan dukungan penuh bagi eksistensi
NKRI, hal ini telah dibuktikan melalui pergulatan sejarah panjang perjuangan
kehidupan bangsa. Pada masa kependudukan Belanda pesantren terus menolak dan
menentang kolonialisme dengan melakukan perlawanan-perlawanan. Menurut
Wahjoetomo upaya perlawanan pesantren terhadap penjajah dikategorikan menjadi 3
sikap yaitu dengan melakukan uzlah(menyendiri di tempat terpencil),
perlawanan nonkooperatif(melawan secara diam-diam), dan melalui
pemberontakan(perlawanan secara terang-terangan).
Nasionalisme santri dan kiai
teramat jelas terlihat pada peristiwa perang 10 Nopember di Surabaya sebagai
bentuk perlawanan rakyat atas kezaliman tentara sekutu yang hendak menguasai Indonesia
lagi pasca proklamasi kemerdekaan. Pekik takbir yang digaungkan Bung Tomo saat
itu benar-benar membakar semangat pejuang yang sebagian besar berasal dari
kalangan pesantren untuk berperang mempertahankan kemerdekaan sebagai satu
bentuk jihad fi sabilillah sebagaimana difatwakan oleh ulama kharismatik K.H.
Hasyim Asy’ari melalu resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Peran dan
kontribusi pesantren bagi kehidupan berbangsa dan bernegara terus diuji pasca
kemerdekaan, bahkan kesetiaan kaum sarungan ini terhadap NKRI mendapat
tantangan semakin berat saat para pejuang harus melawan bangsanya sendiri dalam
menghadapi pemberontakan demi pemberontakan pasca kemerdekaan mulai dari
pemberontakan PRRI, Permesta, hingga bercucuran darah santri dan kiai melawan komunisme
yang merupakan salah satu kekuatan besar orde lama pada saat itu. Benturan
ideologis turut dirasakan manakala pesantren harus melawan pemberontakan
kelompok DI/TII yang mengatasnamakan Islam demi menolak eksistensi NKRI, banyak
santri yang menjadi korban perlawanan pemberontakan kelompok ini adalah santri
pondok pesantren Cipasung pimpinan K.H. Ruhiat yang letaknya satu wilayah
dengan basis pemberontakan DI/TII. Segala hal yang terkait dengan perjuangan
dan keberhasilan pesantren dalam memperjuangkan Indonesia sebagai sebuah bangsa
yang berdaulat dan merdeka tidak akan pernah terlepas dari campur tangan Allah
SWT yang Maha Perkasa. Jika dianalisa secara logis, pertempuran demi
pertempuran di masa perjuangan akan sangat mustahil dimenangkan oleh para
pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing dan peralatan seadanya melawan
penjajah yang dilengkapi instrumen persenjataan canggih dan modern, namun kuasa
Allah berkata lain, menurut pimpinan Pondok Pesantren Al-tsaqafah Jakarta, K.H.
Said Aqil Sirodj kemenangan demi kemenangan kaum santri melawan penjajah adalah
kehendak Allah, berkat doa, tirakat, tawakkal, dan ikhtiar perjuangan para
ulama dan santri para penjajah diibaratkan ilang sirno kertaning bumi.
Prinsip dasar pesantren sebagai penopang
persatuan bangsa adalah dengan memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas
sebuah perbedaan. Hal ini merupakan sebuah kebulatan tekad yang tidak
terbantahkan. Di dalam Alquran surat Alhujurat ayat 13 dijelaskan bahwa Allah
menciptakan manusia berbeda-beda jenis kelamin, suku dan bangsa agar mereka
saling mengenal. Bagi kalangan pesantren kemajemukan yang ada di Indonesia merupakan
refleksi dalam dunia pesantren itu sendiri. Perbedaan pendapat dipandang
sebagai hal yang lumrah, seringkali perbedaan pendapat ini diselesaikan melalui
metode syawir atau musyawarah dan untuk hal-hal yang bersifat
lebih ilmiah biasanya diangkat melalui forum bahtsul masail. Dalam
beberapa kesempatan tokoh pesantren yang juga presiden keempat RI K.H. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa
perbedaan adalah sebuah keniscayaan sejarah dan anugrah yang diturunkan Tuhan
bagi bangsa Indonesia. Dalam kacamata Gus Dur, bangsa Indonesia adalah sebuah
realitas sejarah yang timbul akibat adanya pluralitas budaya yang harus
sama-sama disyukuri dan bukan kenyataan
yang membuat perpecahan. Semangat persatuan nasional itu juga tercermin dari sikap
K.H. Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebu Ireng, Jombang. Sebagai salah satu
ulama yang dihormati di tanah Jawa dan Madura, seringkali fatwa-fatwa dan
ucapan sang kiai secara tegas dan lantang mendukung eksistensi Indonesia
sebagai sebuah negara kesatuan yang terdiri atas berbagai macam suku, agama,
ras, dan golongan. Beliau dan segenap ulama pesantren lain tidak pernah
menghendaki Indonesia dibangun menjadi sebuah negara yang berdasar atas satu
agama, pemahaman ini bahkan dikukuhkan oleh kalangan pesantren melalui forum Muktamar
Nahdlatul ‘Ulama di Banjarmasin tahun 1935 yang menelurkan sebuah sikap bersama
bahwa Indonesia tidak harus menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi negara
akan tetapi umat Islam tetap wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak
berbentuk negara Islam. Sikap semacam ini bukan sebuah pengingkaran atas
komitmen keislaman ulama pada waktu itu akan tetapi merupakan sebuah hasil perenungan
panjang dan pemahaman konsep kenegaraan dalam Islam yang sama-sama didiskusikan
oleh para ulama demi mencapai solusi terbaik bagi kemaslahatan umat Islam dan
bangsa Indonesia. Bagi kalangan pesantren dasar argumen tersebut di ambil dari ijtima’
ulama yang menyatakan hukum mendirikan negara berlandaskan Islam adalah
tidak wajib meskipun itu lebih baik. Pengakuan pesantren sebagai pelopor
persatuan bangsa turut diamini oleh tokoh nasional Dr. Soetomo yang juga
merupakan salah satu pendiri organisasi kebangkitan nasional Boedi Oetomo,
beliau menyatakan bahwa pesantren merupakan konservatorium patriotisme dan
nasionalisme Indonesia. Atas dasar semangat kebangsaan yang majemuk itulah
kalangan pesantren berjuang sepenuh hati dan mengorbankan jiwa dan raga demi
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat persatuan yang dipelopori
kaum pesantren juga diwujudkan pada saat pengesahan Piagam Jakarta yang
dirumuskan oleh Panitia Sembilan di mana di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Islam
seperti K.H. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Mr. Mohammad Yamin. Bagi kalangan
Islam saat itu penghapusan 7 kata dalam poin pertama Piagam Jakarta merupakan
pengakuan yang utuh bagi kemajemukan bangsa Indonesia dan sumbangsih besar umat
Islam dalam menegakkan dasar negara yang melindungi seluruh elemen bangsa.
Komitmen kuat yang dibangun oleh para pemuka agama Islam yang sebagian besar
adalah kaum pesantren pada saat itu begitu membekas dan dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab oleh masyarakat sampai di lapisan akar rumput, bahkan
hingga hari ini komitmen persatuan Indonesia yang dipelopori kaum pesantren
semakin mantap dilaksanakan, hal ini diwujudkan dengan penerimaan
organisasi-organisasi Islam yang terlahir bersamaan dengan masa-masa
kemerdekaan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis yang telah menegaskan sikap
untuk menerima asas tunggal dan dasar negara Pancasila sebagai ideologi
nasional.
Upaya demi upaya pesantren dalam
mempertahankan dan menjunjung tinggi persatuan nasional harus selalu
diaktualisasikan dalam setiap sisi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh generasi
muda sebagai figur pengisi kemerdekaan. Para ulama dan santri telah membuktikan
kesetiaannya terhadap bangsa dan akan terus berkomitmen menjadi salah satu
basis kekuatan masyarakat dalam membela dan mempertahankan tanah air Indonesia.
Sayangnya hingga saat ini apresiasi maupun pengakuan masyarakat dan negara atas
upaya pesantren sebagai satu kekuatan penopang eksistensi NKRI belum
mendapatkan ruang penghargaan yang cukup. Bagi sebagian masyarakat peran besar
pesantren kurang dihargai, dan metode pendidikan pesantren masih dianggap
ketinggalan zaman. Hal ini dibuktikan dengan semakin pesatnya pertambahan
jumlah institusi pendidikan Islam yang mengadopsi sistem pendidikan luar negeri
yang asas-asas nasionalismenya sangat kurang. Di bidang pengembangan pendidikan,
keberpihakan institusi pendidikan formal sangat jauh dari pengakuan pesantren
sebagai pelopor dan penggerak perjuangan kemerdekaan. Begitu banyak kisah
perjuangan kalangan pesantren yang tak terungkap dalam buku pelajaran sejarah
dan seolah-olah hilang dalam cerita masyarakat sehari-hari. Kenyataan ini tidak
terlepas dari komitmen para ulama kebanyakan pada saat itu yang lebih memilih
kembali ke pesantren setelah perang fisik mempertahankan kemerdekaan dan
menolak untuk terjun ke dalam politik praktis, sikap ini banyak diambil oleh
ulama pesantren seperti kiai Ahmad Shohibul Wafa pemipin pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya dan kiai Subki pemimpin Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing,
Temanggung, serta banyak ulama lain yang ikhlas tidak mendapatkan penghargaan
formal demi kembali berjuang dalam bidang pendidikan di pesantren. Semangat
perjuangan kaum pesantren sudah sepantasnya kita aktualisasikan dalam mengisi
alam kemerdekaan saat ini. Sebagai generasi penerus pembangunan jiwa
patriotisme santri di masa perjuangan mestinya kita refleksikan dengan
upaya-upaya memajukan kehidupan bangsa di segala sektor. Santri masa kini yang
menurut data kemenag jumlahnya sekitar 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok
pesantren di 33 propinsi di Indonesia harus mampu
menjadi pribadi-pribadi penopang kemajuan dan pilar penyangga persatuan bangsa.
Jumlah yang cukup besar tersebut adalah kekuatan potensial bagi tumbuh kembang
generasi muda yang berbudi luhur, berakhlak mulia, dan berjiwa patriotik
sehingga diharapkan permasalahan-permasalahan moral bangsa saat ini seperti
perilaku KKN, disintegritas pejabat dan pemimpin, perilaku amoral dan segudang
permasalahan lain dapat diantisipasi di masa depan. Jiwa nasionalisme yang kuat
dan akar persatuan yang erat adalah modal paling berharga bagi sebuah bangsa
untuk dapat menjadi negara yang maju di segala bidang. Tantangan bagi para
santri ke depan adalah bagaimana mengoptimalkan potensi diri dalam menjalankan
tugas sebagai generasi penerus pembangunan bangsa dengan tetap membumikan
nilai-nilai keislaman dalam konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang
semakin dinamis. Dalam berbagai kesempatan ceramah K.H. Ahmad Mustofa Bisri
menyampaikan bahwa santri bukan sekedar orang-orang yang memakai peci, sorban,
sarung, gamis atau baju koko, lebih jauh dari itu santri adalah orang yang
memiliki adab dan perilaku akhlakul karimah sebagaimana dijelaskan dalam
kitab-kitab salaf. Jika orang tersebut berpenampilan layaknya santri tetapi
tidak memiliki perilaku dan akhlak yang baik, dia tidak layak disebut santri. Akhlak
dan sikap terpuji inilah yang mampu mengimbangi dan menanggulangi dampak
negatif globalisasi modern yang mengikis akar budaya bangsa serta menciptakan
pribadi yang unggul di sisi IPTEK dan diimbangi dengan karakter pribadi luhur
berdasarkan IMTAQ. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan solusi kemajuan
bangsa masa depan adalah metode kultural pendidikan pesantren Indonesia yang
berorientasi pada penanaman jiwa patriotik, pengembangan kompetensi SDM
berdasarkan ilmu pengetahuan dan wawasan keislaman serta pribadi akhlakul karimah.
Naufal ‘Aziz Assyafiq
Cikarang, 5 Maret 2017